Jakarta– Pemberian bantuan pendidikan berupa Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan bantuan biaya personal pendidikan yang diberikan kepada peserta didik di semua jenjang pendidikan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya putus sekolah. Faktor-faktor lain yang menentukan seorang peserta didik putus sekolah adalah tingkat pendidikan orang tuanya atau tepatnya kepala rumah tangga, jumlah anak atau anggota keluarga yang ditanggung keluarga, tingkat kemiskinan, dan wilayah tempat tinggal. Demikian hasil beberapa penelitian yang berhasil dicatat Puslapdik.
Salah satunya penelitian yang dilakukan Fitri Mulyani, Endrizal Ridwan, dan M.Nazer, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif serta analisis inferensia model regresi logistik, yakni menganalisis hubungan antar variabel dependen dan beberapa variabel independen.
Baca juga : Sekolah Jangan Salah Centang “Layak PIP” di Dapodik
Penelitian bertajuk “Efektivitas Program Indonesia Pintar terhadap Partisipasi Sekolah di Kawasan Barat dan Timur Indonesia”ini menggunakan data sekunder dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik 2021. Sampel penelitian ini 451.393 siswa dari berbagai jenjang, terbagi atas 54 persen siswa dari kawasan Indonesia Barat di 16 propinsi dan 46 persen dari siswa di kawasan Indonesia Timur di 7 propinsi.
Hasil penelitian ini menunjukkan, di wilayah Indonesia Barat, peserta didik yang menerima PIP berkecenderungan 15 kali lebih besar untuk tetap bersekolah dibanding peserta didik yang tidak menerima PIP. Sedangkan di wilayah Indonesia Timur, peserta didik yang mendapatkan PIP memiliki kecenderungan 11 kali lebih besar untuk bersekolah dibandingkan anak yang tidak mendapat program PIP.
Penelitian itu juga memperlihatkan peserta didik, baik di Indonesia wilayah timur maupun di wilayah barat yang berjenis kelamin laki-laki, peserta didik yang berasal dari keluarga utuh, dan peserta didik yang bertempat tinggal di perkotaan dengan fasiltas pendidikan yang lebih besar, kemudahan akses dan keadaan geografis lebih terhindar dari kondisi putus sekolah dibanding peserta didik yang berasal dari orang tua yang single parent atau yatim piatu, dan tinggal di pedesaan dengan kondisi geografis yang relatif sulit akses transportasi.
Begitu pula, peserta didik dengan pengeluaran perkapita anggota keluarga di bawah Garis Kemiskinan cenderung untuk tidak bersekolah dibandingkan rumah tangga yang pengeluaran perkapitanya di atas Garis Kemiskinan. Sementara bantuan sosial lain, seperti Peserta Program Keluarga Harapan (PKH) tidak terlalu signifikan untuk menghindarkan anak dari putus sekolah.
Ingin tahu hasil penelitian secara lengkap? Silakan klik di sini
Berbeda di masing-masing jenjang
Penelitian lain dilakukan Nimas Anggara Samalo dan Thia Jasmina dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM-FEB) Universitas Indonesia. Penelitiannya yang bertajuk “The Effect of Educational Cash Transfer for Students From Low” dipaparkan pada The 10th Asian Conference on Education & International Development (ACEID) 2024 pada Maret 2024 di Tokyo dan dimuat di researchgate.net.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Program Indonesia Pintar (PIP) terhadap angka putus sekolah bagi peserta didik miskin dan rentan miskin, antara sebelum dan saat pandemi Covid-19. Penelitian ini menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 dan 2021 dengan metode Propensity Score Matching (PSM). Sampel penelitian ini terdiri dari anak usia sekolah, 6-21 tahun, dari rumah tangga miskin dan rentan berdasarkan pengeluaran per kapita. Pada tahun 2019, sampelnya berjumlah 112.004 siswa dengan rincian 63.204 di sekolah dasar, 29.248 di sekolah menengah pertama, dan 19.552 di sekolah menengah atas. Sementara pada tahun 2021, 121.163 siswa diidentifikasi sebagai sampel dengan rincian 66.177 di sekolah dasar, 30.458 di sekolah menengah pertama, dan 24.528 di sekolah menengah atas.
Hasil penelitian menunjukkan, PIP memiliki pengaruh yang berbeda pada setiap jenjang pendidikan. Sebelum terjadi Covid 19 tahun 2019, PIP dapat menurunkan jumlah peserta didik putus sekolah pada jenjang SD/Sederajat, dan SMP/Sederajat 2019, namun tidak berpengaruh pada angka putus sekolah di jenjang SMA/sederajat.
Berbeda di tahun 2021 atau selama Covid 19, bantuan PIP menurunkan angka putus sekolah di jenjang SMP dan SMA, namun tidak berpengaruh di jenjang sekolah dasar. Program PIP hanya secara signifikan menurunkan angka putus sekolah untuk siswa SMP, baik sebelum maupun selama pandemi Covid- 19.
Baca juga : Mengenal Selintas DTKS Sebagai Acuan Penetapan PIP
Namun, penelitian itu juga menemukan, sebelum ada Covid 19, di semua jenjang pendidikan, tingkat putus sekolah pada sampel siswa yang menerima PIP relatif lebih rendah, yakni 0,61% dibandingkan dengan siswa sampel yang tidak menerima PIP (0,91%). trend ini konsisten pada tahun 2021 ata selama Covid 19,, tingkat putus sekolah pada sampel yang menerima PIP relatif lebih rendah (0,71%) dibandingkan dengan sampel yang tidak menerima PIP (1,01%). Hasil penelitian lebih lengkap bisa dilihat di Sini
Banyak faktor
Penelitian lain dilakukan Abdul Hakim dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Penelitian bertajuk “Faktor Penyebab Anak Putus sekolah” yang diterbitkan di laman https://jurnal.ut.ac.id itu menggunakan data hasil Susenas 2019. Sampel penelitian adalah 11.463 anak usia sekolah dasar dan menengah (7–18 tahun) dengan analisis regresi logistik.
Mengacu pada Data Susenas, Abdul Hakim menyimpulkan, peserta didik yang tidak mendapatkan PIP, berasal dari keluarga dengan kepala rumah tangga yang berpendidikan SMP, jumlah anggota rumah tangga yang lebih dari 5 orang, bersekolah sambil bekerja membantu orang tua, tingkat kemiskinan, dan bertempat tinggal di pedesaan, berkecenderungan mudah putus sekolah.
Hasil analisa Abdul Hakim, dengan menggunakan analisis regresi logistik, peserta didik dari keluarga yang orang tuanya berpendidikan SMP ke bawah, tidak mendapatkan PIP, jumlah anggota rumah tangga 6 orang, aktivitas anak bekerja, rumah tangga mereka miskin, dan tinggal di daerah pedesaan, berkemungkinan putus sekolahnya 51,60 persen. Sebaliknya, jika pendidikan kepala rumah tangga SMA atau lebih tinggi, siswa memiliki PIP, jumlah anggota rumah tangga 4 orang, siswa tidak bekerja sehingga dapat berkonsentrasi sekolah, rumah tangga mereka tidak miskin, dan tinggal di perkotaan, maka kemungkinan anak tersebut putus sekolah sebesar 8,49 persen.
Namun, dari semua faktor tersebut, yang paling dominan dengan nilai odds ratio sebesar 4,838 adalah kepemilikan PIP. Artinya anak yang tidak memiliki/mendapat PIP mempunyai kecenderungan untuk putus sekolah sebesar 4,838 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki/mendapat PIP. Lihat lengkapnya hasil penelitian ini Di Sini
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan ( TNP2K) juga Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 dan dimuat di laman https://www.tnp2k.go.id, bahwa peserta didik penerima PIP yang putus sekolah tercatat sebanyak 2,71% dan peserta didik bukan penerima PIP yang putus sekolah sebanyak 11,5%. Kemudian, pada hasil survei yang sama di tahun 2021, angka putus sekolah tetap lebih tinggi terjadi pada peserta didik bukan penerima PIP, yakni 11,28%. Adapun angka putus sekolah pada peserta didik penerima PIP tercatat sebesar 2,92%.