Puslapdik– Pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning (PBL) menjadi metode yang diterapkan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila dalam program Merdeka Belajar yang diusung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek).
Profil Pelajar Pancasila bertujuan mencetak generasi yang berkarakter Pancasila. Ada enam indikator untuk terlahir pelajar Pancasila, yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, gotong-royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
PBL menjadi metode yang tepat untuk mewujudkan sebagian elemen dari Profil Pelajar Pancasila itu, yakni gotong-royong (kolaboratif), mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Dalam berbagai kesempatan, Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim menegaskan, metode PBL mesti digalakkan agar menjadi pemicu lahirnya jiwa kemandirian, kolaborasi, dan kreativitas. “Kolaborasi dan membangun kreativitas menjadi esensi dari kebijakan Merdeka Belajar, “ujar Nadiem.
Proyek atau kegiatan sebagai media belajar
Lantas, seperti apa dan bagaimana itu Project Based Learning (PBL) itu? PBL merupakan metode pembelajaran yang menggunakan proyek atau kegiatan sebagai media. Dalam PBL, siswa menjadi pusat pembelajaran untuk melakukan suatu investigasi yang mendalam terhadap suatu topik. Peserta didik juga secara konstruktif melakukan pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata, dan relevan.
Baca juga :
- LPDP -Kemendikbudristek Diharap Menjawab Tantangan Dunia Pendidikan
- Pembiayaan Pendidikan Masih Prioritas Utama Kemendikbudristek
PBL, metode pembelajaran untuk generasi Z
Ditelusuri lebih dalam lagi, PBL nyatanya sangat relevan untuk diterapkan bagi generasi Z yang saat ini duduk di jenjang sekolah dasar hingga bangku kuliah. Dalam teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall tahun 2004 lalu, generasi Z atau Gen Z adalah setiap orang yang lahir antara 1996-2010. Jadi yang tahun 2021 ini berusia antara 11 – 24 tahun, usia yang masih aktif dalam pendidikan di jenjang SD sampai bangku kuliah.
Nah, hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2020 menunjukkan, komposisi penduduk Indonesia sebagian besar berada di Generasi Z, yakni 27,94%. Generasi Milenial, yang lahir antara tahun 1980 hingga 1995, yang digadang-gadang menjadi motor pergerakan masyarakat saat ini, jumlahnya berada sedikit di bawah Gen Z, yaitu sebanyak 25,87% dari total penduduk Indonesia. Tahun 2021 ini, generasi milenial adalah generasi yang berusia antara 26 hingga 41 tahun, suatu usia yang mayoritasnya sudah berada di luar dunia pendidikan.
Diyan Nur Rakhmah, Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mengutip pendapat beberapa ahli, mengatakan, Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Ryan Jenkins (2017) dalam artikelnya berjudul “Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation” misalnya menyatakan bahwa Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas.
Bruce Tulgan dan RainmakerThinking, Inc. dalam tulisannya berjudul “Meet Generation Z: The Second Generation within The Giant Millenial Cohort” mengidentifikasi beberapa karakteristik Gen Z. Didasarkan pada penelitian longitudinal sepanjang 2003 sampai dengan 2013, Tulgan menemukan, Gen Z merupakan generasi yang tidak pernah mengenal dunia yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Hal itu terbentuk sebagai dampak dari perkembangan media sosial. Melalui media sosial, generasi Z tidak akan terasing karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi. Karena itulah, bagi Gen Z, keterhubungan dengan orang lain adalah hal yang terpenting.
Kemudahan Gen Z terkoneksi dengan banyak orang di berbagai tempat secara virtual melalui media sosial dan juga internet menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara nyata menjadi terbatas. Meskipun begitu, karena mudahan terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia serta adanya internet menyebabkan Gen Z memiliki pola pikir global. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan Gen Z mudah menerima keragaman dan perbedaan pandangan.
Menurut Diyan Nur Rakhmah, karakter lain dari Gen Z lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terhubung dengan teman sebayanya. Dalam pembelajaran, karakter gen Z ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu peserta didik dan mengondisikannya untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Karena itu, kata Diyan, pendekatan PBL dan sejenisnya akan membuat siswa terbiasa bekerja dengan kelompok dan berbagi informasi. Sebagai Gen Z, melalui PBL, peserta didik berpeluang berkolaborasi dengan sesamanya untuk dapat saling belajar dan saling memberikan masukan dengan menempatkan guru sebagai fasilitator belajar.
Referensi : puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/produk/artikel/detail/3133/gen-z-dominan-apa-maknanya-bagi-pendidikan-kita